BUS MALAM yang sedang kutumpangi meluncur dalam kecepatan sedang-sedang saja. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB tepat. Kami baru saja istirahat dan makan malam di sebuah lepau tempat persinggahan bus antarkota di tengah perjalanan. Dan tak lama lagi bus ini akan mengantar para penumpang sampai ke tujuan terakhir. Perjalanan panjang ini akan segera tuntas, dan kami dapat terbebas dari letih dan penat yang menyiksa.

Para penumpang bus yang tinggal separuh tampaknya sudah sangat kelelahan dan mulai tertidur di kursi mereka masing-masing. Namun, aku masih belum bisa memicingkan mata barang sebentar sejak meninggalkan lepau. Meski beberapa kali mulutku menguap. Tapi, aku tak ingin kembali tidur. Harapanku, bus ini secepatnya tiba dan berhenti di simpang empat di tengah kampungku. Iya, di sanalah aku nanti akan turun. Lalu meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar seperempat jam menjelang mencapai rumah.

Aku merapatkan jaket yang melekat di tubuhku untuk menahan udara malam yang menyusup lewat jendela bus yang tersingkap di samping kursi pak sopir. Di luar, dalam kegelapan malam, tumbuh menyungkup di sisi kiri dan kanan jalan pepohonan. Lampu kendaraan itu menyorot di sepanjang jalan, tak ubahnya seperti dua orang yang memegang lampu senter, berlarian di antara dua sisi jalan. Dan dari celah kegelapan sesekali muncul percik cahaya dari rumah penduduk yang kami lewati, menandakan ada kehidupan di luar sana. Lampu bus itu kadang kala tampak pula seperti sepotong kapur putih yang ditorehkan di sepanjang aspal jalanan.

Bus malam yang kutumpangi terus meluncur dalam keremangan malam yang pekat. Kami terhempas ke kanan dan ke kiri di saat roda-rodanya menabrak bongkahan aspal yang tak rata, serta geroak hitam yang banyak menganga di sepanjang jalan. Ah, ternyata jalan menuju kampungku belum banyak berubah. Jarang tersentuh oleh pembangunan. Dan penduduk di sini memang tidak terlalu banyak menuntut. Mereka seperti menerima saja keadaan jalan-jalan yang penuh lubang, jembatan yang hampir roboh, dan tiang listrik yang terpancang di sepanjang jalan tanpa ada kejelasan kapan akan bisa menyala.

Tentu saja bukan tanpa alasan mereka memiliki sikap seperti itu. Barangkali mereka sudah bosan memamah janji-janji yang tak pasti. Karena setiap lima tahun sekali kampung itu selalu ramai dikunjungi oleh orang-orang yang datang dari kota, lalu menebar janji-janji yang sungguh menggiurkan. “Jalan-jalan akan kita perbaiki! Listrik akan segera menyala dan akan kita bangun pula sebuah bioskop di kampung ini,” begitulah janji-janji mereka kala itu.

Namun, tentu saja ada syarat-syaratnya. Tidak ada sesuatu yang bisa didapatkan secara gratis sekarang ini, tak mungkin ada asap kalau tak ada api. Begitulah, mereka harus mendukung sebuah partai yang katanya akan melanjutkan pembangunan itu kelak. Orang-orang kampung setuju saja memenuhi permintaan itu. Asalkan impian memiliki jalan bagus yang akan menjadi penghubung ke kota, pijar listrik yang menyala, dan sebuah bioskop untuk hiburan di kala kesuntukan merajam kepala dapat segera mewujud nyata. Yah, itulah yang memenuhi isi pikiran mereka waktu itu. Lalu mereka berjuang memenangkan calon dari kelompok orang yang menabur janji itu dalam acara pesta demokrasi yang meriah. Dan usaha mereka tidak sia-sia. Mereka tampil sebagai kontestan pemenang dalam acara lima tahunan itu.

Ketika ritual lima tahunan itu usai, orang-orang yang dulu sering datang kini tak lagi tampak batang hidungnya. Mereka seperti menghilang ditelan bumi. Dan, bagaimana pula dengan janji-janji itu? Tak satupun yang terpenuhi. Kampung itu tetap seperti sediakala. Jalan-jalan masih berlubang, jembatan semakin mengerikan karena sudah hampir patah separuh tiangnya, serta tiang listrik yang terlantar, dan akhirnya menjadi tempat junjungan bagi akar-akar merambat di sepanjang jalan penghubung antar satu kampung dengan kampung lainnya. Akar ritang, sepenang, sebulun, serupal, berebut memeluk tiang listrik di sepanjang jalan sebagai tempat rambatan.

Sejak itu penduduk kampung sudah tak lagi percaya dengan janji-janji. Mereka tak lagi peduli dengan setiap janji yang dulu pernah diucapkan, entah sampai kapan!

Untuk memenuhi kebutuhan penerangan kawasan kampung, mereka lalu membendung batang sungai Siau yang mengalir lumayan jauh dari areal pemukiman. Hanya berbekal sumbangan swadaya dari penduduk beberapa kampung yang telah bosan melihat kegelapan menyelimuti pemukiman mereka, ditambah dengan sedikit bantuan dari para perantau asal kampung itu yang turut merasa prihatin. Kemudian mereka bangun sebuah mesin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang hanya mampu menerangi beberapa kampung saja. Dan sejak itu, lampu mulai berpijar di kampung itu dengan listrik tenaga air. Televisi sudah pula masuk ke rumah-rumah penduduk yang sebelumnya sulit dibayangkan akan bisa terwujud. Mereka menemukan sebuah kepuasan batin.

Aku seperti terombang ambing dalam sebuah kapal di lautan mahaluas yang tak jelas di mana akan bertepi. Di mana-mana hanya hamparan semak belukar yang terlihat sejauh mata memandang. Ditingkahi pula kuik burung hantu dan bunyi kubung yang menambah sunyi perjalanan kami.

Tapi, aku ingin segera tiba di penghujung perjalan yang melelahkan ini. Bersimpuh di pangkuan ibu seperti dulu selalu kulakukan setiap suara takbir mengumandang.

“Pulanglah, Bang. Ibu sudah lama menanti kepulanganmu,” Masih kuingat dengan jelas percakapanku dengan Devi, adikku, ketika menelpon seminggu lalu.

“Iya. Aku nanti akan pulang,”

“Lebaran dulu Abang juga bilang begitu…,” jawab Devi, dengan nada cemberut. Aku tahu dia kecewa karena selama lima tahun aku tak bisa pulang. Kali ini aku tak ingin kembali menumpuk kekecewaan di hati mereka.

“Percayalah! Katakan sama Ibu, Abang pasti pulang lebaran nanti.”

“Awas kalau bohong lagi! Ibu akan sedih, Bang… Tak usahlah kau ingat adikmu ini, tapi ingat Ibu yang sudah semakin tua!”

Aku tersenyum getir mendengar ancamannya yang setengah ngambek itu. Aku tahu Devi sangat senang mendengar rencana kepulanganku kali ini. Ah, sungguh aku juga sudah kangen melihat wajah anak manja itu, dan tentu aku juga kangen sama Ibu. Mataku terasa dilumuri cairan hangat ketika berusaha melukis wajah ibu dalam pikiranku.

***

MESKI sangat sibuk dan banyak pekerjaan masih menumpuk, tapi aku berusaha untuk tetap pulang lebaran kali ini. Sungguh, aku sangat merindukan kehangatan ketika berkumpul di tengah keluarga pada malam takbir.

Sambil menyimak alunan takbir dari radio atau televisi, kami semua akan berkumpul di ruang keluarga. Ditemani secangkir kopi dan bermacam hidangan camilan khas menu lebaran. Kue goyang, bolu, kue bawang, kue arai, lemang golek, goreng pisang, gelamai, wajik ketan, lempuk duren, dan bermacam buah-buahan semua tersedia. Anak-anak riang bermain petasan, menyalakan kembang api dan menyulut lilin di teras rumah. Mendadak suasana rumah menjadi sangat ramai dan benderang. Sungguh meriah. Sedangkan para orang dewasa duduk berkumpul, bercengkrama dalam kehangatan dan kelegaan setelah menuntaskan puasa sebulan penuh. Aku tak pernah mendapati kehangatan serupa itu ketika merasakan berlebaran di kota besar, jauh dari sanak keluarga. Yang kudapati selama merantau di Ibu Kota hanya keterasingan dan kehampaan belaka. Lima tahun lamanya kulalui saat-saat hampa seperti itu.

“Simpang empat…! Simpang empat…!”

Lamunanku seketika buyar ketika mendengar kernet bus itu memberitahu penumpang bahwa perjalanan kami telah sampai ke simpang empat. Bus berhenti agak menepi dan aku segera turun sambil tak lupa menarik barang bawaan. Aku merasa lega setelah menjejakkan kaki di tanah kampung yang telah lama kutinggalkan. Udara dingin segera menyergapku. Tubuhku menggigil. Perlu waktu beberapa saat untuk dapat beradaptasi dengan hawa dingin di malam buta begini.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…

Sayup-sayup, dari radio rumah penduduk yang pintunya sudah tertutup rapat, masih kudengar suara takbir mengalun lirih. Kurasakan ketenangan menyusup ke dalam jiwa. Membuatku semakin tak sabar untuk secepatnya bergabung dengan sanak keluarga seperti dulu. Ibu pasti sedang bersedih, dan mengira aku tak pulang lagi, karena sampai takbir menggema di langit-langit kampung aku belum juga muncul. Meski seminggu lalu telah kukatakan aku akan pulang!

Aku mengatur langkah-langkah panjang menyusuri jalan kampung yang remang. Diiringi degup jantung yang berdebar semakin kencang. Sedangkan bus malam yang tadi kutumpangi terus merayap membelah malam pekat! Mengantar para penumpang lain yang sudah tak sabar pula menjumpai sanak keluarga mereka yang telah lama menanti. Sambil menyusuri jalan menuju rumah, bibirku bergetar mengucap takbir yang sudah lama kuhapal.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…!

Depok 12 Oktober 2006

_______________

catatan:

Lepau* (rumah makan)
Kubung* (sejenis burung hantu yang biasanya ditakuti oleh anak-anak)

Post a Comment

Pendapat Anda