MENONTON sejarah hidup “Sang Proklamator” yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta pada 17 Agustus lalu, saya mendapati kedekatan Mohammad Hatta, salah seorang Proklamator RI, dengan dunia buku. Di Yogayakarta kedekatan itu ditandai dengan sebuah perpustakaan, bernama perpustakaan Hatta, yang beralamat di Jalan Adisucipto.


Di Indonesia, perpustakaan Hatta terdapat di dua tempat. Selain di Yogyakarta, perpustakaan Hatta juga terdapat di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Menurut sebuah “website” yang saya baca, di tanah kelahiran Hatta itu keadaan perpustakaan Hatta amat memprihatinkan: bocor di sana-sini, koleksi yang kurang terawat, dan sepi pengunjung.

Keadaannya di Yogyakarta tak kalah memprihatinkan. Selama dua tahun lebih tinggal di dekat perpustakaan itu dan sering berkunjung ke sana, saya mendapati bangku-bangku yang kosong, buku yang berdebu, langit-langit kusam bekas air hujan yang bocor, dan penjaga yang membaca koran mengisi kekosongan.

Menurut data di perpustakaan itu, angka kunjungan pada 1998 sebanyak 9.567. Tiga tahun berikutnya, 2001, kunjungan tinggal 4.089. Dan kini antara 4-7 orang saja pengunjung datang dalam sehari.

Bila sore atau hari libur, di halaman yang lumayan lapang, banyak orang bermain sepak bola. Bila malam tiba, tak tampak di situ ada perpustakaan, sebab tertutup oleh banyak gerobak dan warung lesehan di depannya. Menjelang Idul Adha, lapangannya malah jadi tempat menampung binatang kurban!

Saya tidak tahu perpustakaan di bawah Yayasan Hatta itu milik keluarga Hatta atau bukan, mendapat kucuran dana dari pemerintah atau tidak, tetapi nama besar Hatta yang dipertaruhkan sebagai nama telah jatuh, tak mampu lagi merayu masyarakat untuk mengunjunginya. Inikah wujud sikap kita yang tak menghargai pahlawan kita? Padahal, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya.

Kata Des Alwi, anak angkat Hatta yang juga seorang sejarawan, Hatta adalah sosok yang tak bisa dilepaskan dari dunia buku. Di mana pun berada, dalam keadaan sehat atau sakit, Hatta selalu terlihat memegang atau tengah menulis buku. Ketika dibuang ke Tanah Merah, Boven Digoel, oleh Belanda, Hatta membawa 16 peti berisi buku. Di sana Hatta juga menolak ditawari kerja oleh Belanda dan memilih menulis artikel untuk membiayai hidup, terutama untuk “Daulat Ra’jat”. Mengkritik Soekarno pun ia tidak secara langsung, tetapi lewat tulisan (antara lain “Soekarno Ditahan”, Tragedi Soekarno”, dan “Sikap Pemimpin”). Hatta dan buku tak bisa dipisahkan.

Setelah ibu kota RI kembali ke Jakarta, Hatta menjadi dosen UGM (1954-1959) dan pada 27 November 1956 mendapat gelar doktor honoris causa dari kampus tersebut. Tak ada saksi Hatta pernah tinggal atau punya hubungan dekat dengan Yogyakarta selain perpustakaan yang memakai namanya itu. Tentu sayang kalau sekarang dia harus merana. Akan tetapi, siapa peduli?[]

Dipublikasikan di Kompas edisi 4 Oktober 2006

Post a Comment

Pendapat Anda