SINDO, Minggu, 17/12/2006
Judul buku: Tarian Setan
Penulis: Saddam Husein
Judul Asli: Akhreej Minha Ya Mal'un
ISBN 979-3684-67-4
 

PADA tahun-tahun terakhir sebagai penguasa Irak, Saddam Hussein berhasil menulis empat buah novel. Novel pertamanya berjudul Zabibah wa al-Mulk (Zabibah dan Sang Raja) terbit pada 2001, disusul al-Qal'ah al-Hashinah (Benteng Pertahanan) dan Rijal wa Madinah (Pahlawan dan Kota). Ketiga novel tersebut diterbitkan di Irak ketika Saddam masih menjabat sebagai presiden Irak.

Akhreej Minha Ya Mal'un yang dalam edisi terbitan Indonesia diterjemahkan menjadi Tarian Setan adalah novel keempat yang baru selesai ditulis Saddam Hussein pada 18 Maret 2003, dua hari menjelang agresi militer Amerika Serikat ke Irak. Namun, naskah yang masih berbentuk soft copy tersebut berhasil diselamatkan putrinya Raghad Hussein ke Yordania.

Novel ini berkisah tentang manusia tamak, licik, culas, dan haus kekuasaan yang menjadi simbol rapuhnya kehormatan dan harga diri. Hasqil sebagai tokoh antagonis dalam novel ini memiliki semua sifat-sifat buruk tersebut. Hasqil bersama dua adik sepupunya; Yusuf dan Mahmud, dibesarkan dalam keluarga Ibrahim (kakeknya sendiri) yang menjadi panutan dalam suku mereka. Namun, sejak masih kecil Hasqil telah menunjukkan kepribadian yang culas, rakus, kikir, dan sangat mencintai harta. Sifat-sifat itu sangat bertentangan dengan sifat yang ada pada diri kedua adiknya, yang taat terhadap ajaran agama sebagaimana yang diajarkan kakeknya.

Setelah dewasa, Hasqil terusir dari keluarga dan sukunya akibat perbuatan nista yang mencoreng wajahnya, ketika hendak mencoba menodai kehormatan anak gadis kepala suku. Sejak itu, dia menjadi pengembara, hingga kemudian memutuskan hidup dalam lingkungan suku al- Mudhtharrah sebagai pendatang. Hasqil memulai hidup barunya dalam suku tersebut dengan berbisnis sepatu kuda dan menjual senjata.

Akan tetapi, sifat rakus, licik, kikir, suka menggoda wanita, dan haus kekuasaan yang telah terpatri kuat di dalam jiwanya sejak kecil ternyata tak pernah pupus. Dia menghalalkan segala macam cara agar bisnisnya tetap berjalan lancar dan bisa menumpuk harta sebanyak- banyaknya. Berkat kelicikannya pula, Hasqil berhasil menduduki jabatan sebagai kepala suku al-Mudtharrah.

Padahal, dalam tradisi yang berkembang di tengah suku-suku di Arab, ketika terjadi pergantian kepala suku, maka kepala suku yang dipilih harus berasal dari penduduk suku asli. Tidak boleh mengangkat kepala suku yang berasal dari penduduk pendatang seperti Hasqil. Namun, mereka telah melanggar tradisi tersebut karena terbuai oleh kelicikan Hasqil Namun, rasa tidak puas dan kebencian rakyat kian melemahkan kekuasaan Hasqil. Putri kepala suku lama bersama dengan Salim, kekasihnya, berusaha menggalang dukungan melawan tirani Hasqil dan Romawi.

Puncaknya, dalam sebuah pertempuran hebat, mereka berhasil menghancurkan pasukan Hasqil yang dibantu pasukan Romawi. Sang penguasa itu akhirnya jatuh oleh ketamakannya sendiri. Kekalahan Hasqil dan Romawi ditandai dengan robohnya menara kembar yang menjadi simbol kekuasaan mereka. Melalui novel ini, Saddam Hussein berhasil menyuguhkan sebuah cerita dari negeri yang selalu dilanda perang. Di surat kabar al- Hiwar al-Mutamaddun (Kabar Peradaban) Salam Aboud mengomentari novel Saddam dan menggolongkannya ke dalam genre "sastra perang" (adab harby) dan sastra dictator (adab diktatory).

Dengan membaca novel ini kita dapat melihat bagaimana keadaan Irak yang tak pernah merasa aman karena selalu dihantui oleh suasana perang dan rasa kebencian Saddam terhadap musuh-musuhnya. Konon, tokoh pahlawan dalam novel-novelnya melambangkan karakter dan sosok Saddam sendiri.(*)

Herma Yulis,
tinggal di Sleman, Yogyakarta

Post a Comment

Pendapat Anda