SARDI memaksa diri duduk di depan layar monitor, memelototi berlembar-lembar halaman cerita yang tak kunjung dapat dirampungkan. Sesekali tangannya meraih bundelan koran, majalah, dan buku-buku, yang tumpang tindih di atas meja, sebagai pelengkap referensi cerita yang sedang ia tulis. Bau kertas bercampur debu, berebut menggelitik liang hidung, membuat Sardi terbatuk-batuk.
Profesi sebagai penulis cerita, memaksa ia tetap bertahan di sana. Di ruangan yang terkadang sungguh menyebalkan, apalagi jika cerita yang sedang ditulis tak kunjung menemukan ending yang paling menarik, paling tidak menarik menurut dirinya. Ketika mulai bosan berhadapan dengan layar monitor, atau ide-ide ceritanya mentok, maka hiburan satu-satunya adalah dengan melahap buku-buku, majalah, dan koran-koran yang bertumpuk di atas meja.
Tok! Tok! Tok!
Seorang lelaki berdiri di depan pintu yang sejak tadi terbuka. Ia tatap lelaki itu dari ujung sepatu hingga pucuk kepala. Seakan tak memberi peluang satu lekuk tubuh pun selamat dari jilatan matanya. Lelaki itu sedikit merunduk ketika tatapan mereka bersabung. Sedapat mungkin ia berusaha mengingat-ingat. Hingga kedua alisnya menyatu serupa sayap burung elang, serta kening yang sedikit berkerut, tapi ia tetap yakin siang itu tak ada janji bertemu dengan seseorang. Kalaupun ada teman yang akan bertamu ke rumahnya, pastilah sebelumnya akan memberi kabar.
Tapi, sejak pagi Sardi hanya mendapat sms dari Kartika, kekasihnya. Mengabarkan bahwa dia akan pulang minggu depan. Sungguh, Sardi gembira sekali mendengar kabar itu. Pertemuan mereka terakhir kali terjadi pada enam bulan lalu. Pada suatu senja, ketika ia melepas keberangkatan Kartika dari stasiun kereta api di kotanya. Perpisahan itu terjadi karena Kartika mendapat panggilan kerja dari perusahaan pembuat rokok di lain kota. Meski dengan berat hati, waktu itu Sardi merelakan kepergian kekasihnya. Karena ia tak ingin Kartika kecewa atas larangannya.
Beberapa menit sebelum memasuki gerbong kereta, Kartika melabuhkan kepala ke dada Sardi. Kartika menyelusupkan kepalanya seperti sedang mencari sepercik ketenangan di sana. Airmatanya luruh dan menyisakan basah di baju Sardi.
“Jaga dirimu baik-baik. Aku selalu setia menunggu kepulanganmu,” bisik Sardi sambil mengelus kepala Kartika yang masih membenam di dadanya. Kartika tak sempat menjawab karena bunyi peluit sebagai isyarat keberangkatan, telah memisahkan mereka di senja itu.
Dan minggu depan Kartika akan pulang. Tentu saja kabar yang telah lama ia tunggu-tunggu. Senyumnya seketika mengembang. Bahkan, ia membaca berulang-kali sms dari kekasihnya itu. Padahal, hampir setiap pagi, siang, dan malam hari, mereka saling mengirim pesan lewat sms. Tidak cukup hanya dengan mengirim sms, mereka bahkan sering pula saling menelpon. Entah berapa jumlah pulsa yang telah mereka habiskan karena mereka tak pernah mencoba menghitungnya. Tapi sms kali ini berbeda dengan sms dan telpon yang sudah-sudah. Iya, mata Sardi seperti tersihir untuk membaca ulang setiap kata dalam sms itu. Ketika ingat bahwa ia harus kembali berhadapan dengan layar monitor yang masih menyala, HP itu begitu saja ia geletakkan di tumpukan buku di atas meja. Melanjutkan ceritanya yang tak kunjung selesai. Tapi, kehadiran lelaki itu membuat aktivitasnya kembali terhenti.
“Ada perlu dengan siapa?”
“Dengan Bapak,” jawab lelaki itu.
“Oh ya, silakan masuk,”
Ia simpan keraguan yang masih menggumpal dalam kepalanya. Siapa tahu ia pernah membuat janji dengan seseorang, dan ia lupa. Atau lelaki itu sengaja diminta oleh seorang teman menemui dirinya tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Serba mungkin, bukan?
Lelaki itu menjatuhkan pantat di atas kursi dalam posisi berhadap-hadapan dengannya. Hanya di ruangan itu Sardi biasanya menerima tamu. Ruang tamu itu ia sulap merangkap menjadi ruang kerja. Ruang kerja sederhana tentunya. Hanya ada seperangkat komputer dan dua buah meja kayu yang disesaki oleh buku-buku. Tentu saja dengan pemandangan kertas yang bertabur ke mana-mana. Karena di ruangan itu tak tersedia tempat sampah, Sardi seenaknya saja membuang sampah-sampah kertas ke sudut-sudut ruangan, dan terkadang ia lupa membersihkannya kembali.
“Saya dari Yayasan Sosial Pemberdayaan Anak-anak Jalanan,” ia memperkenalkan diri.
“Hmm… lalu hubungannya denganku?”
“Kami membutuhkan uluran tangan dari para dermawan seperti Bapak.”
“Apa yang dapat kubantu?”
Lelaki itu menyodorkan selembar stop map warna merah kepadanya. Ada daftar beberapa nama di sana. Tak satu pun nama yang ia kenal. Di sebelahnya ada sebuah kolom lagi berisi deretan angka-angka yang menunjukkan nominal jumlah uang. Tertulis di sana Limaribu, Sepuluhribu, Limapuluh Ribu, bahkan ada yang menulis Tigaratus Ribu. Lalu, ia harus mengisi kolom itu berapa? Seketika ia tampak bimbang.
“Sumbangan sukarela, Pak,” lelaki itu seakan dapat membaca kebimbangannya.
“Apakah ini dapat dipercaya?”
“Tentu saja,”
Satu lagi stop map dikeluarkan dari dalam tas hitamnya. Ada surat tugas dari Yayasan Sosial tempatnya bekerja, keterangan dari rt/rw, dan juga surat keterangan dari kecamatan tempat yayasan itu berada. Surat-surat itu mampu memupus keraguannya. Apa salahnya sedikit berbagi dengan anak-anak jalanan yang kurang beruntung? Ia buang setumpuk sangsi di hatinya. Kursi yang ia duduki berderit, ketika ia bangkit dan berlalu dari ruangan itu.
“Kautunggu sebentar,”
Tubuhnya lenyap ke dalam sebuah kamar. Kira-kira lima menit berselang ia kembali muncul dengan menenteng sebuah amplop putih di tangan. Lalu ia berikan kepada lelaki itu.
“Tidak perlu dicatat,” katanya.
“Terimakasih, Pak,”
Karena tak ingin mengganggu pemilik rumah lebih lama lagi, lelaki itu pun segera pamit. Dia menyelipkan amplop putih itu ke dalam saku kemeja, dan berlalu dengan gegas dari hadapan Sardi. Sementara Sardi masih berdiri di depan pintu sampai punggung lelaki itu lenyap dari jilatan matanya.
Ia melirik jam yang melingkar di tangannya. Tepat pukul duabelas siang. Ah, sudah waktunya makan siang, pikirnya. Sardi bergegas masuk. Ketika melewati ruang tamu, tanpa sengaja matanya menatap ke tumpukan buku, dan kertas koran di atas meja. Saat itu ia tak lagi melihat HP miliknya tergeletak di sana. Ada perasaan curiga, jangan-jangan…! Dicarinya ke kamar, siapa tahu ia lupa menaruh. Namun, setelah mengobok-obok tumpukan koran dan buku-buku, tetap saja HP itu tidak berhasil ia temukan.
Ia yakin sekali, pastilah lelaki itu yang telah membawa HP miliknya. Sardi berlari hingga ke bahu jalan raya. Tapi, ia hanya mendapati kendaraan yang meraung-raung di jalanan.
***
“SARDI, aku yakin dia orang yang kemarin siang menipumu. Ciri-cirinya mirip seperti yang kau ceritakan,” Baher berusaha meyakinkan Sardi, sahabatnya.
Baher menyaksikan sendiri ketika lelaki itu diringkus massa hingga darah meleleh dari wajahnya yang lebam. Lelaki itu dilihatnya berlari kebingungan dari dalam pagar sebuah rumah di sisi jalan raya. Di belakangnya segerombol orang mengejar dengan beringas. Lelaki itu tampak panik sambil terus berlari dengan napas tercungap-cungap.
Beberapa waktu sebelumnya, lelaki itu mendatangi sebuah rumah mewah di sisi jalan. Dengan mantap dia memencet bel pintu, hingga seraut wajah perempuan muda menyembul di balik gorden, sebelum pintu dibuka. Mulailah dia menyampaikan maksud kedatangannya kepada ibu pemilik rumah yang terlihat ramah. Dia memang sudah terlatih dalam urusan menyakinkan orang. Orang-orang selalu saja percaya dengan berkas permohonan sumbangan yang ia sodorkan. Tak terpikir oleh mereka, bahwa itu adalah sebuah sindikat penipuan yang tertata dengan rapi. Berkas itu sebagai kedok belaka. Sambil menyelam meminum air, begitulah prinsipnya.
Mata lelaki itu terpancang pada sebuah kamera digital di atas meja, ketika ibu pemilik rumah sedang masuk mengambil uang yang akan ia sumbangkan. Ia mengamati keadaan sekeliling. Ketika dirasa cukup aman, kamera itu segera ia pindahkan ke dalam tas hitam di pangkuannya. Namun malang baginya, karena aksinya kali itu kepergok oleh pemilik rumah. Sejenak si ibu pemilik rumah tertegun melihat lelaki itu memindahkan kamera miliknya ke dalam tas hitamnya.
“Maling…! Maling…!” teriaknya, setelah kesadarannya pulih.
“Ada apa, Bu?!” Seorang lelaki berlari tergopoh-gopoh dari ruang belakang. Air mukanya melukiskan kecemasan. Khawatir sesuatu terjadi pada isterinya. Disusul pula oleh dua orang anak lelakinya yang kaget mendengar jeritan ibunya.
“Kamera, Pa…Ia mencuri kamera kita! ”
“Maling! Maling…!”
Para tetangga, dan orang-orang yang kebetulan melihat keributan itu, ikut mengejar. Kejar-kejaran pun berlangsung seperti dalam adegan di film-film India. Dan, akhirnya massa berhasil membekuknya ketika hendak berlari menyeberang jalan. Lelaki itu tampak panik karena mendadak ada bis melaju dengan kencang, dan memaksa langkahnya terhenti. Tubuhya gemetar mendengar teriakan massa yang semakin dekat.
Tak ada jalan lain. Kembali ke belakang ada rombongan massa yang beringas, sedangkan terus berlari nyawanya bisa melayang tergilas. Maut seperti tersenyum sambil menari menghampirinya. Ia berbalik, menangis, dan memohon ampun kepada orang-orang yang menatapnya dengan wajah garang.
“Hajar saja!” teriak orang-orang.
“Jangan! Serahkan saja ke kantor polisi!”
“Tapi, dia pantas untuk dihajar….” teriak yang lain.
“Ampun…!”
Gedebug!
Plak!
Bruk! Aduh!
Terdengar suara tubuh dihantam benda-benda tumpul. Tendangan dan pukulan berebut mencari sasaran di tubuh lelaki itu. Dia roboh dan terkapar di atas trotoar jalan.
Darah menganak dari hidung dan mulutnya yang lebam dihajar massa. Kemudian lelaki itu mereka gelandang ke pos polisi terdekat. Baher menyaksikan sendiri drama penangkapan itu, karena kebetulan dia sedang menunggu bis di sebuah halte dekat lokasi kejadian.
“Apa kau yakin dia orangnya?”
“Pasti dia. Ayo kita segera ke sana!” kata Baher.
“Ampun…!”
Gedebug!
Plak!
Bruk! Aduh!
Terdengar suara tubuh dihantam benda-benda tumpul. Tendangan dan pukulan berebut mencari sasaran di tubuh lelaki itu. Dia roboh dan terkapar di atas trotoar jalan.
Darah menganak dari hidung dan mulutnya yang lebam dihajar massa. Kemudian lelaki itu mereka gelandang ke pos polisi terdekat. Baher menyaksikan sendiri drama penangkapan itu, karena kebetulan dia sedang menunggu bis di sebuah halte dekat lokasi kejadian.
“Apa kau yakin dia orangnya?”
“Pasti dia. Ayo kita segera ke sana!” kata Baher.
***
MESKI wajah lelaki itu lebam dan dilapisi darah yang mulai mengering, namun Sardi masih dapat mengenalinya. Dialah lelaki yang kemarin siang bertandang ke rumahnya, menguras uangnya, dan membawa pergi HP miliknya. Di samping lelaki itu tampak sepasang suami isteri yang masih muda sedang memberi kesaksian kepada petugas kepolisian.
“Barang apa yang dicurinya?”
“Kamera, Pak.” Jawab sang isteri.
“Apa Ibu melihatnya sendiri?”
“Iya, saya melihatnya sendiri.”
“Bagaimana kejadiannya?”
“Ketika itu saya lihat ia memasukkan kamera milik saya ke dalam tas hitam miliknya.”
“Terimakasih, Bu. Kesaksian itu sudah cukup.” Kemudian petugas memindahkan kesaksian itu ke dalam selembar kertas dengan mesin tik manual.
Begitu melihat Sardi datang, air muka lelaki yang wajahnya lebam itu mendadak tegang. Tatapannya tajam serupa badik.
“Itu orangnya, Pak!” tiba-tiba lelaki itu berteriak. Sardi terbelalak, ia tak mengerti, ketika mendapati semua mata menatap ke arahnya.
“Dialah pimpinan kami yang tadi Bapak tanyakan.” katanya, sambil menunjuk Sardi.
Sebelum Sardi menambah kesaksian atas tindak kejahatan berupa sindikat penipuan yang dilakukannya, lelaki itu lebih dahulu berusaha menjebak Sardi ke dalam perkaranya. Dia cukup cerdik membaca situasi.
“Bohong…! Aku tak kenal dia,” teriak Sardi.
Seorang polisi bertubuh tegap, membawa sebuah borgol, berjalan menghampirinya. Sardi berusaha melepaskan diri, tapi tangannya telah terpasung ke dalam lubang borgol. Kulit tangannya terasa perih seperti teriris.
“Apa-apaan ini?!” teriak Sardi.
“Kau sudah dengar pengaduan lelaki itu. Masih juga hendak berkilah?”
“Aku bukan anggota sindikatnya, apalagi sebagai pimpinan. Dia sengaja menjebakku!”
“Sungguh, Pak. Dia adalah pimpinan kami,” timpal lelaki itu
Sardi menatap lelaki itu dengan tatap kebencian. Ingin ia merobek mulut busuk lelaki itu, sampai ia merasa puas. Tapi, itu tak mungkin dilakukannya, sebab kedua tangannya sedang terpasung dalam belenggu. Lelaki itu tersenyum. Senyum kemenangan.
Tiba-tiba melintas dalam benak Sardi wajah kekasihnya yang minggu depan akan pulang. Kartika pasti kecewa mendapatinya berdiam di salah satu kamar penjara yang kumuh dan pesing. Mungkinkah dia akan percaya, jika dirinya hanyalah korban belaka? Ah, Sardi memegangi kepalanya yang seperti menguap kepanasan.
“Dasar pukimak…!” serapahnya.
Yogyakarta, 14 September 2006
______________
Dimuat di Koran Seputar Indonesia (SINDO), edisi Mingggu, 4 Maret 2007.
MESKI wajah lelaki itu lebam dan dilapisi darah yang mulai mengering, namun Sardi masih dapat mengenalinya. Dialah lelaki yang kemarin siang bertandang ke rumahnya, menguras uangnya, dan membawa pergi HP miliknya. Di samping lelaki itu tampak sepasang suami isteri yang masih muda sedang memberi kesaksian kepada petugas kepolisian.
“Barang apa yang dicurinya?”
“Kamera, Pak.” Jawab sang isteri.
“Apa Ibu melihatnya sendiri?”
“Iya, saya melihatnya sendiri.”
“Bagaimana kejadiannya?”
“Ketika itu saya lihat ia memasukkan kamera milik saya ke dalam tas hitam miliknya.”
“Terimakasih, Bu. Kesaksian itu sudah cukup.” Kemudian petugas memindahkan kesaksian itu ke dalam selembar kertas dengan mesin tik manual.
Begitu melihat Sardi datang, air muka lelaki yang wajahnya lebam itu mendadak tegang. Tatapannya tajam serupa badik.
“Itu orangnya, Pak!” tiba-tiba lelaki itu berteriak. Sardi terbelalak, ia tak mengerti, ketika mendapati semua mata menatap ke arahnya.
“Dialah pimpinan kami yang tadi Bapak tanyakan.” katanya, sambil menunjuk Sardi.
Sebelum Sardi menambah kesaksian atas tindak kejahatan berupa sindikat penipuan yang dilakukannya, lelaki itu lebih dahulu berusaha menjebak Sardi ke dalam perkaranya. Dia cukup cerdik membaca situasi.
“Bohong…! Aku tak kenal dia,” teriak Sardi.
Seorang polisi bertubuh tegap, membawa sebuah borgol, berjalan menghampirinya. Sardi berusaha melepaskan diri, tapi tangannya telah terpasung ke dalam lubang borgol. Kulit tangannya terasa perih seperti teriris.
“Apa-apaan ini?!” teriak Sardi.
“Kau sudah dengar pengaduan lelaki itu. Masih juga hendak berkilah?”
“Aku bukan anggota sindikatnya, apalagi sebagai pimpinan. Dia sengaja menjebakku!”
“Sungguh, Pak. Dia adalah pimpinan kami,” timpal lelaki itu
Sardi menatap lelaki itu dengan tatap kebencian. Ingin ia merobek mulut busuk lelaki itu, sampai ia merasa puas. Tapi, itu tak mungkin dilakukannya, sebab kedua tangannya sedang terpasung dalam belenggu. Lelaki itu tersenyum. Senyum kemenangan.
Tiba-tiba melintas dalam benak Sardi wajah kekasihnya yang minggu depan akan pulang. Kartika pasti kecewa mendapatinya berdiam di salah satu kamar penjara yang kumuh dan pesing. Mungkinkah dia akan percaya, jika dirinya hanyalah korban belaka? Ah, Sardi memegangi kepalanya yang seperti menguap kepanasan.
“Dasar pukimak…!” serapahnya.
Yogyakarta, 14 September 2006
______________
Dimuat di Koran Seputar Indonesia (SINDO), edisi Mingggu, 4 Maret 2007.