Oleh Herma Yulis | |||
"LEBARAN nanti aku ingin memiliki kembang api yang banyak sekali. Kembang api yang lebih besar daripada milik Didi dan Usman pada lebaran lalu, Ayah. Aku akan menyulutnya di halaman rumah kita, dan anak-anak lain akan berdatangan menyaksikan pijarnya yang berwarna-warni menerangi langit. Sebab, kembang api milikku nanti lebih besar daripada milik mereka."
AYAH mana yang tak ingin membahagiakan anaknya di kala hari lebaran tiba? Semua pasti akan senang menyaksikan senyum bahagia terpancar dari wajah polos anak-anak mereka waktu itu. Begitu pula yang dirasakan oleh Wardi. Ia pun tak tega menyaksikan anaknya semata wayang bersedih hati karena apa yang telah lama diharapkannya tak kesampaian.Apalagi, anaknya tak pernah meminta sesuatu yang harus mengeluarkan banyak uang untuk mewujudkannya.
Dia tidak meminta dibelikan sepatu baru yang harganya ratusan ribu, ataupun pakaian lebaran dengan model keluaran terbaru. Permintaan anaknya yang selalu diucapkan setiap menjelang tidur hanya satu, yaitu keinginannya untuk memiliki kembang api yang banyak dan lebih besar daripada yang pernah dimiliki oleh temannya pada lebaran tahun-tahun sebelumnya.
Dia begitu terobsesi oleh harapan itu. Sampaisampai sering terbawa ke dalam igauannya ketika sedang lelap tidur. Anak itu tak minta lebih dari itu. Dia tidak menuntut agar dibelikan pakaian serbabaru seperti anak-anak orang berpunya di kampungnya. Baju le-baran tahun lalu yang ia lipat rapi di lemari kayu reot sudah cukup baginya. Sungguh,Wardi tak ingin melihat anaknya bersedih dan teringat ibunya yang telah tiada sejak dua tahun lalu. Ah, kenapa secepat itu kau meninggalkan kami yang sangat menyayangimu?
Jika kau masih ada,kau pasti akan senang melihat Bayu, anak kita, yang tumbuh subur meski dalam segala keterbatasan yang kita miliki. Mata Wardi seperti dilumuri oleh cairan hangat ketika tiba-tiba teringat istrinya yang telah pergi dan tidak akan pernah kembali. Ia mengusap matanya yang basah dengan punggung tangannya yang kurus dan mulai tampak renta. Urat tangannya terlihat jelas menyembul di balik kulit tipis dan tampak legam terpanggang matahari.
Pikirannya menerawang ke masa silam yang sungguh mengiris jiwa dan meremukkan perasaannya. Pagi itu istrinya masih menyiapkan barang jajanan yang akan dipasarkan.Pisang goreng, lemper ketan, serabi, dan lemang golek sudah pula tertata rapi dalam keranjang makanan yang selalu dibawanya berkeliling kampung pada setiap pagi. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat.
Bayu kecil yang waktu itu baru berusia lima tahun dititipkan pada neneknya ketika ia menjajakan dagangan. Tak mungkin dititipkan kepada suaminya. Karena Wardi setiap pagi akan bekerja mengurus huma mereka yang tak seberapa luas. Di sana mereka menanam padi, bermacam sayur-sayuran,dan beberapa rumpun pisang. Sebenarnya hasil panen dari huma itu tidak pernah cukup memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
Dan dalam rangka menutupi semua kekurangan itulah maka istrinya rela berkeliling kampung sambil menjajakan jajanan kecil. Hasilnya lumayan untuk tambal sulam keuangan keluarga mereka yang serbakekurangan. Siang itu matahari melata di atas kepala. Bagai bola panas yang menggelinding dan setiap saat dapat memanggang kulit kepala. Ketika itu Wardi sedang tersadai melepas lelah di sebuah pelantan bambu di bawah pondoknya.
Tiba-tiba ia dikejutkan dengan kedatangan Cik Ramli, tetangga dekatnya, yang setengah berlari menghampirinya.Mukanya tampak pias dengan napas tercungap-cungap. Perasaan Wardi menjadi tak enak. Pasti telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, pikirnya.
“Ada apa, Cik Ramli?!”
“Isma, Wardi… Istrimu…,” Perkataannya terputus karena napasnya yang belum teratur.
“Iya. Isma istriku. Ada apa gerangan?” Cik Ramli menghirup napas panjang dan menghembuskannya lepas.
Beberapa kali dia lakukan hal serupa hingga dadanya mulai terasa agak lega.
Kemudian barulah dia melanjutkan berita itu
“Istrimu sakit. Cepatlah kau pulang!”
“Tak mungkin.Tadi istriku masih berjualan dan dia sehat-sehat saja.”
Wardi tak percaya begitu saja dengan kabar yang dibawa Cik Ramli.
“Sungguh, Wardi. Isma terjatuh saat melewati titian bambu di depan rumahmu. Dia pingsan dan mengalami pendarahan. Cepat kau kemasi barang- barangmu!”
Kali ini Wardi tak lagi menampik. Buru-buru ia sambar kantung perbekalannya. Tak lupa parang panjang ia sampirkan pula di pinggang. Lalu setengah berlari mereka pulang. Betapa kacau pikirannya kala itu. Rasarasanya ia tak bisa percaya akan kejadian itu, jika saja bukan Cik Ramli sendiri yang menjemputnya. Jalan yang biasa ia tempuh,kini terasa begitu jauh, berkelok-kelok dan sungguh melelahkan sekali.
Di rumahnya sudah ramai para tetangga dan sanak keluarga. Mereka memberi jalan ketika melihat Wardi datang. Isma tampak tergeletak di ruang tengah rumahnya. Di atas kasur tipis yang sengaja digelar di tengah rumah. Istrinya sudah siuman waktu itu. Tapi ia mengalami pendarahan cukup parah. Sedangkan di kampung mereka ketika itu belum ada puskesmas, apalagi rumah sakit. Dan Wardi tak mungkin membawa istrinya ke rumah sakit yang ada di kota.
Selain sangat jauh, (sekitar lima jam perjalanan) Wardi juga tak memiliki persediaan uang untuk merawat istrinya ke rumah sakit. Biaya berobat di rumah sakit tentu sangat mahal, dan itu yang dikhawatirkannya.Akhirnya, Isma dirawat di rumah saja dengan cara perawatan orang kampung. Beberapa dukun kampung yang terkenal hebat didatangkan. Namun, usaha itu tak banyak membuahkan hasil.
Dan, pada subuh hari ke tiga sejak kejadian itu nyawa Isma tak lagi tertolong, karena darah yang dikeluarkan cukup banyak. Remuk redam hati Wardi saat itu. Bayu ia peluk erat di depan jasad istrinya yang mulai pasi di bawah hamparan selimut batik mori. Para tetangga dan keluarga dekat berusaha menghibur dan menyabarkannya. Ketika itu Bayu menangis sedu memanggil ibunya.Wardi merasa dirinya sebagai orang yang paling bersalah karena tak mampu membiayai pengobatan istrinya ke rumah sakit, sehingga nyawanya tak bisa tertolong. Kehidupan keluarganya memang serbamelarat! ***
NANTI malam suara takbir akan mengumandang di langit-langit kampung. Kembang api akan berpijar elok disulut oleh anak-anak dengan penuh keriangan.Ditingkahi pula oleh rentetan suara petasan yang sangat meriah. Tapi ia belum juga bisa membelikan kembang api itu. Sedangkan Bayu kian tak sabar ingin segera melihat kembang api pesanannya sejak lama.
Kembang api yang banyak dan lebih besar daripada milik teman-temannya. “Kapan Bayu dibelikan kembang api itu,Ayah?” “Sore nanti baru ayah belikan kembang api yang banyak.” “Benarkah,Ayah?” Wardi hanya mengangguk sambil membelai kepala Bayu penuh kasih. Ah, kembang api itu. Haruskah ia berhutang lagi di warung Mak Cuan untuk mendapatkan sebungkus kembang api? Ia merasa tak enak hati, karena hutang yang lama pun belum bisa ia lunasi.
Tapi ia harus bisa mendapatkannya untuk Bayu.Wardi berusaha keras memutar otak, mempertimbangkan segala kemungkinan agar bisa mendapatkan kembang api itu, demi anak satu-satunya. Pagi-pagi benar Wardi sudah berkemas. Dua bungkus nasi dalam bungkusan daun pisang dan sebotol air putih, telah pula mengisi ambung. Sebilah beliung tak lupa ia masukkan lengkap dengan kayu keting-nya. Di sampingnya, Bayu tampak termangu menyaksikan kesibukan ayahnya ketika mempersiapkan setiap perkakas yang perlu dibawa.
“Kita mau ke mana Ayah?” “Menjenguk huma. Sepertinya pisang ambon di belakang pondok sudah tua.
Nanti kita jual sama Mak Cuan dan uangnya bisa kita gunakan buat beli kembang api yang banyak.” Lalu bocah kecil itu tak lagi banyak bertanya. Dia sudah senang mendengar ayah akan membeli kembang api untuknya. Dan sepanjang perjalanan menuju huma Bayu tak merasa capek sama sekali.
Dia bertambah riang ketika melihat ayahnya baru saja merobohkan pohon pisang ambon yang buahnya sangat rimbun dan gemburgembur itu.Terbayang olehnya kembang api yang akan menjadi miliknya sore nanti. Dia akan menyulutnya di halaman depan rumah bersama teman-teman seperti setahun lalu. Seulas senyum terukir di bibir mungil bocah itu. Sore rekah menyungkup bumi.
Sebelum mereka hendak pulang,Wardi terlebih dahulu mengajak anaknya pergi mengumbut sampul di hutan tepi huma.Tidak akan menghabiskan waktu lama untuk menuntaskan pekerjaan itu. Dalam pikiran Wardi, umbut sampul itu sebagian akan dijual bersama pisang ambon kepada Mak Cuan, dan sisanya akan digunakan sendiri untuk campuran gulai daging binatang kurban esok hari. Sudah lama ia tak makan gulai umbut sampul. Iya, dulu istrinya selalu meminta dirinya untuk selalu mengumbut saat-saat menjelang hari lebaran haji tiba seperti sekarang ini.
Dan, kebiasaan itu sudah ia tinggalkan sejak istrinya tidak lagi bersamanya. Matahari sudah semakin condong ke arah barat. Ah, masih ada sisa waktu untuk menjual pisang dan umbut itu ke warung Mak Cuan sebelum malam tiba, pikirnya. Setelah itu baru ia akan mencari sebungkus kembang api untuk anaknya.Ia harus bisa mendapatkan kembang api itu sore nanti. Mata beliung berkilat saat Wardi menebaskannya ke batang pohon sampul.
Meski ukuran pohon itu cukup besar, tapi tidaklah terlalu keras. Kira-kira seperempat jam, batang pohon sampul itu mulai berkeretak tanda hampir roboh. Kemudian, mulai tampak condong dan berderak keras sekali, namun Wardi terus mengayunkan keting beliung-nya tiada henti, seolah ia sedang kesetanan menghajar pohon tersebut. Ia ingin secepatnya menuntaskan usahanya menumbangkan pohon sampul itu. Wuss!...Pohon itu tumbang.
Namun, di luar dugaan ia berbalik arah karena tertarik oleh gumpalan akar-akar besar yang melilit pelepah dan sebagian pohon sebelah atas.Kejadian itu begitu cepat.Wardi masih berusaha menghindar cari selamat, tapi pelepah-pelepah sampul lebih cepat memeluk dan melambun tubuhnya. Wardi roboh ke tanah. Sedikit demi sedikit kesadarannya pun pudar dan mengabur.
“Bangun ayah! Bayu takut. Bayu tak ingin lagi punya kembang api yang banyak.Tapi Bayu ingin ayah bangun.”
Tangis bocah kecil itu pun mengoyak keheningan pada sore itu. Ia berusaha merambah dedaunan dan mendapati tubuh Wardi di bawah hamparan pelepah sampul, dan bumbunan akar-akar yang telah menutupi sebagian tubuhnya. Berkali-kali bocah kecil itu memanggil dan mengguncang- guncang tubuh ayahnya yang tergeletak tanpa gerak. Hanya erangannya saja yang sejenak masih sempat terdengar olehnya, lalu kaku dan diam.Ketika itu Wardi sudah tak ingat apa-apa lagi.Tidak juga tentang kembang api itu. Semua tampak gelap! Djogja, 25 Desember 2006