Suara Merdeka, 3 Juni 2007


Stasiun kereta api dan terminal bis di pusat kota Dakha dipenuhi oleh orang-orang melarat yang eksodus dari desa-desa terpencil di wilayah utara. Pemandangan ini sungguh sangat memilukan.
Muhammad Yunus, dekan Fakultas Ekonomi di Universitas Chittagong, merasa resah melihat kesenjangan antara teori yang diajarkannya dengan realitas kemiskinan sehari-hari di Bangladesh. 

Kemudian ia memutuskan keluar dari ruang kelas untuk belajar langsung dari kehidupan masyarakat miskin di pedesaan. Yunus sangat kaget ketika menyaksikan perjuangan warga miskin di desa-desa mempertahankan hidup mereka dari bencana kelaparan yang telah menewaskan ratusan ribu orang. Sebagai seorang akademisi, Yunus merasa sangat berdosa karena belum banyak berbuat untuk mengatasi permasalahan yang sedang menimpa masyarakat di sekitar kampusnya sendiri. "Ketika banyak orang sedang sekarat di jalan-jalan karena kelaparan, saya justru sedang mengajarkan teori-teori ekonomi yang elegan," katanya.

Kondisi ini mengetuk hati Yunus untuk berpartisipasi langsung mengatasi kemiskinan yang sedang menggerogoti masyarakat di sekitar kampus Chittagong. Dan, sejak tahun 1974 Yunus sepenuhnya menekuni upaya pemberdayaan perekonomian kaum miskin di Bangladesh. Dua tahun kemudian, ia mulai mengembangkan program kredit mikro tanpa agunan untuk kaum miskin yang tidak dapat mengakses pinjaman dari bank. Program ini merupakan gugatan ia terhadap sistem birokrasi yang tidak memihak kepada kepentingan kaum miskin.

Muhammad Yunus lahir di Chittagong pada 1940 sebagai anak ke-tiga dari empat belas bersaudara. Mengalami pemisahan Pakistan dari India semasa kecil, dan aktif pula dalam perjuangan kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan ketika dewasa. Ia menempuh pendidikan formal di Chittagong Collegiate School, kemudian memperoleh beasiswa Fulbright untuk program Ph.D di Vanderbilt University pada tahun 1969. Setelah kembali ke Bangladesh ia dipercaya menjabat Dekan Fakultas Ekonomi Chittagong University. Dan sejak 1972 dia mulai aktif mendalami akar-akar kemiskinan masyarakat di desa Jobra, Bangladesh.

Pada tahun 1976, ia mengubah lembaga kreditnya menjadi sebuah bank formal bernama Grameen Bank, atau Bank Desa dalam bahasa Bengali. Sekarang bank ini memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Dan yang lebih menarik, modal bank ini 75 persen dimiliki nasabah, yakni kaum miskin di pedesaan Bangladesh, sedangkan sisanya dimiliki pemerintah. Bank tersebut kini mampu menyalurkan kredit puluhan juta dollar AS per bulan kepada 6,6 juta warga miskin yang menjadi nasabahnya.

Sejak awal berdiri, Grameen Bank memfokuskan programnya untuk memberdayakan perempuan miskin di pedesaan. Sebab, kelaparan dan kemiskinan lebih merupakan masalah perempuan ketimbang laki-laki. Perempuan mengalami kelaparan dan kemiskinan lebih hebat daripada laki-laki. Jika anggota keluarga ada yang harus mengalami kelaparan, hukum tidak tertulis mengatakan ibulah yang pertama-tama harus mengalaminya. Ibu juga menderita pengalaman traumatis karena tidak mampu menyusui bayinya selama masa kelaparan dan paceklik. Perempuan miskin di Bangladesh memiliki kedudukan sosial yang paling rawan. Namun demikian, di samping semua penderitaan ini, perempuan miskin juga terbukti lebih cepat menyesuaikan diri dan lebih baik dalam proses membangun kemandirian ketimbang laki-laki (halaman 71).

Adapun untuk menjamin pembayaran kredit, Grameen Bank menggunakan sistem yang dinamakan ''grup solidaritas''. Grup ini terdiri atas kelompok kecil yang bersama-sama mengajukan pinjaman, di dalamnya terdapat anggota yang bertindak sebagai penjamin pembayaran. Sistem ini tak jauh berbeda dari sistem dana bergulir. Ketika satu anggota telah berhasil mengembalikan pinjaman, maka dana itu akan digunakan oleh anggota lain. Dan, beberapa tahun terakhir Grameen Bank telah memperluas cakupan kredit dengan memberikan kredit pinjaman rumah (KPR), proyek irigasi, pinjaman untuk usaha tekstil, dan usaha-usaha kecil lain.

Grameen Bank juga telah berkembang menjadi Grameen Family of Enterprises yang membawahi delapan lembaga profit dan nonprofit, semua itu bertujuan untuk membantu masyarakat miskin yang ingin memperbaiki perekonomian mereka. Sedangkan divisi perbankan Grameen Bank telah mencatat keuntungan sebesar 15,21 juta dolar pada tahun 2005. Sebuah prestasi gemilang yang tak terbayangkan pada awal berdiri Grameen Bank.

Keberhasilan Grameen Bank ''memutus lingkaran kemiskinan'' menjadi sumber inspirasi bagi lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat miskin di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat. Bahkan Bank Dunia yang awalnya memandang sebelah mata program ini, kini juga mempraktekkan gagasan kredit mikro seperti yang dicetus oleh Yunus sejak 1974 silam.

Kerja keras Yunus mengatasi kemiskinan di Bangladesh telah membuka mata dunia. Karena itu pada 2006 lalu Muhammad Yunus dan Grameen Bank dianugerahi Nobel Perdamaian oleh Komite Nobel Norwegia. Ini adalah kemenangan terbesar bagi Yunus dan kaum miskin Bangladesh atas kerja keras mereka mengembangkan Grameen Bank.

Harus diakui, bahwa kemenangan dalam memerangi kemiskinan juga berarti kemenangan dalam upaya menciptakan perdamaian. Karena penyebab munculnya aneka konflik di tengah masyarakat seringkali berawal dari persoalan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Persoalan kemiskinan bisa dijadikan senjata untuk sebuah propaganda politik dan memecah belah masyarakat. Hal semacam inilah yang seharusnya perlu diwaspadai.

Di tengah kemiskinan yang masih menggerogoti negeri ini, korupsi yang merajalela, dan angka pengangguran yang cukup tinggi, maka penerbitan buku Bank Kaum Miskin ini sangatlah berarti. Karena kita masih membutuhkan orang-orang seperti Muhammad Yunus yang mampu memberikan sumbangan nyata dalam memerangi kemiskinan, bukan mengumbar janji-janji palsu yang tak ada realisasinya sama sekali.
HERMA YULIS
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta








  • Post a Comment

    Pendapat Anda